This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 03 Oktober 2013

ISLAM SEBAGAI OBJEK KAJIAN DAN PENELITIAN




ISLAM SEBAGAI OBJEK KAJIAN DAN PENELITIAN
Makalah
Disusun Guna memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Metodologi Studi Islam
Dosen pengampu : Drs. Ma’mun Mu’min M.Ag







 







Disusun oleh:
1.         Ika Ayu Fatwarani           : 1310120001
2.         Kholifatul Khusnah          :1310120002
3.         Abdulloh Faqih                 :1310120003
4.         Arif Syaifuddin Bakrie    :1310120004

 


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH/PAI-ELK
2013







MEMAHAMI KARAKTERISTIK AGAMA ISLAM DALAM OBJEK PENELITIAN SOSIAL DAN BUDAYA
A.    Pendahuluan
Kehadiran ajaran agama islam yang di bawa oleh Nabi Muhammad SAW diyakini oleh umat islam dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin Didalam agama tersebut terdapat berbagai petunjuk bagi penganut agama islam. Beberapa orang menganggap penelitian agama adalah tabu sebagian dari mereka akan berkata: Mengapa agama yang sudah begitu mapan mau di teliti: Agama adalah wahyu Allah yang sudah pasti kebenarannya.
Sikap serupa juga terjadi di Barat. Dalam pendahuluan buku Seven Theoritis Of Religion dikatakan dulu orang Eropa menolak anggapan adanya kemungkinan meneliti agama. Sebab antara ilmu dan nilai, antara ilmu dan agama (kepercayaan), tidak bisa di sinkronkan.Mungkinkah kita meneliti agama, apalagi agama islam, oleh orang-orang islam? Tentu saja agama termasuk Islam dapat dan boleh diteliti. Pada tahun 1990-an, Prof Dr.Mukti Ali telah berkata begitu, dan banyak orang yang tidak setuju.Tapi sampai saat ini dengan perkembangannya pemahaman tentang islam, maka masyarakat luaspun mulai bisa menerima pemikiran tersebut. Dalam perguruan tinggipun studi Islam terus berkembang terkait materi-materi yang di pelajari oleh mahasiswa dalam melengkapi mata kuliahnya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Agama sebagai gejala budaya dan sosial?
2.      Bagaimana agama dalam sosial dan budaya?
3.      Bagaimana Islam dalam Aspek sosial?

C.    Pembahasan
1.      Agama sebagai Gejala Budaya dan Sosial
Pada awalnya ilmu hanya ada dua: ilmu kealaman dan ilmu budaya. Ilmu kealaman seperti fisika, kimia, biologi dan lain-lain mempunyai tujuan utama mencari hukum-hukum alam, mencari keteraturan yang terjadi pada alam. Contoh, kalau sekarang air mengalir dari atas ke bawah besok kalau dites lagi juga begitu. Sebaliknya ilmu budaya mempunyai sifat tidak berulang, tetapi unik. Contoh, budaya kraton Yogya unik buat Yogya, batu nisan seorang tokoh sejarah unik buat yang bersangkutan, dan sebagainya. Disini tidak ada keterulangan.
Kemudian diantara penelitian kealaman dan budaya itu terdapat penelitian ilmu-ilmu sosial. Penelitian ilmu sosial berada di antara ilmu kealaman. Karena itu, penelitian ilmu sosial mengalami problem dari segi objektivitasnya. Inti ilmu kealaman adalah positivisme. Sesuatu itu baru di anggap sebagai ilmu kalau dapat diamati (observable), dapat diukur (measurable) dan dapat dibuktikan (veriable). Sebaliknya ilmu budaya hanya dapat diamati. Kadang-kadang tidak dapat diukur apalagi diverifikasi.
Timbul pertanyaan: bisakah agama didekati secara kualitatif atau kuantitatif? Jawabannya, bisa. Agama bisa didekati secara kualitatif dan kuantitatif sekaligus. Tergantung agama yang sedang diteliti itu dilihat sebagai gejala apa.
Ada lima bentuk gejala agama yang perlu diperhatikan kalau kita hendak mempelajari sauatu agama. Pertama, scripture atau naskah-naskah sumber ajaran dan simbol-simbol agama. Kedua, para penganut atau pemimpin atau pemuka agama, yakni sikap perilaku dan penghayatan para penganutnya. Ketiga, ritus-ritus, lembaga-lembaga dan ibadat-ibadat, seperti shalat, haji dan waris. Keempat organisasi-organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhamadiyah. Penelitian keagamaan dapat mengambil sasaran salah satu atau beberapa dari lima bentuk gejala ini. Orang boleh mengambil tokohnya, seperti K.H.A. Dahlan, Muhammad Iqbal dan lain-lain.
Kalau orang hendak meneliti peralatan agama, maka tergantung alat apa yang akan di teliti. Kalau yang ingin diteliti adalah ka’bah, alat ritus dalam islam, misalnya, orang dapat meneliti sejarah ka’bah, kapan didirikan,siapa yang membangun, bagaimana bentuknya. Namun perlu diperhatika ada yang betul-betul alat agama, ada yang sebenarnya hanya dianggap sebagai alat agama. Misalnya, peci, Di kampung, kalau orang pergi ke mesjid tidak memakai peci dianggap kurang Islam. Tetapi ternyata peci juga digunakan untuk upacara sumpah jabatan. Jadi konsep peci yang dikampung dianggap sebagai alat agama ternyata berbenturan dengan konsep peci di tempat lain.
2.      Islam dalam Aspek Sosial
Islam sebagai gejala sosial, pada dasarnya bertumpu pada konsep sosiologi agama. Pada zaman dahulu sosiologi agama mempelajari hubungan timbal balik antara agama dan masyarakat Masyarakat mempengaruhi agama, dan agama mempengaruhi masyarakat. Belakangan sosiologi agama mempelajari bukan soal hubungan timbal balik, melainkan lebih kepada pengaruh agama terhadap tingkah laku masyarakat: bagaimana Agama sebagai sistem nilai yang mempengaruhi tingkah laku masyarakat. Bagaimanapun juga, ada juga pengaruh masyarakat terhadap pemikiran keagamaan. Orang tentu sepakat bahwa lahirnya teologi Syiah, Khawarij, Ahli Sunnah wal Jamaah sebagai produk pertikaian politik. Tauhidnya memang asli dan satu, tetapi anggapan bahwa Ali sebagai imam dan semacamnya adalah produk perbedaan pandangan politik. Jadi pergeseran masyarakat dapat mempengaruhi pemikiran teologi atau keagamaan.. Oleh karena itu dapat juga diteliti bagaimana perkembangan masyarakat industri mempengaruhi pemikiran keagamaan. Contoh, kita hidup di kampung dan di sebelah rumah kita ada Masjid. Kalau kita tidak pernah kelihatan shalat jum’ah di situ, kita akan dianggap kurang saleh dalam beragama. Tetapi kalau kita tinggal di kota, walau setahun kita tidak pernah kelihatan shalat jum’ah di Masjid kota itu, kita tidak dianggap kurang saleh dalam beragama. Mengapa? karena indikasi kesalehan telah bergeser dan berbeda bagi orang Desa dan Kota. Kehidupan Kota telah menyebabkan pergeseran itu; perkembangan masyarakat telah mempengaruhi cara perpikir orang mengenai penilaian kesalehan.
Atho Mudzhar mencatat adanya lima bentuk gejala agama yang perlu diperhatikan kalau seseorang hendak mempelajari suatu agama. Pertama scripture atau naskah-naskah atau sumber ajaran dan simbol-simbol agama. Kedua, para penganut atau para pemimpin atau pemuka agama, yakni sikap, perilaku dan penghayatan para penganutnya. Ketiga, ritus-ritus, lembaga-lembaga dan ibadat-ibadat, seperti shalat, puasa, haji, perkawinan dan waris. Keempat, alat-alat, seperti masjid, gereja, lonceng, dan semacamnya. Kelima, organisasi-organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan berperan, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Gereja Katholik, Gereja Protestan dan lain-lain. Lebih jauh ia menegaskan bahwa penelitian keagamaan dapat mengambil sasaran salah satu atau beberapa dari lima bentuk gejala tersebut di atas. Orang boleh mengambil tokohnya, boleh alatnya, terserah dari sudut mana kita menelitinya. Alat-alat agama dapat menjadi sasaran penelitian, namun perlu diperhatikan bahwa ada yang betul-betul alat agama, ada yang sebenarnya hanya dianggap sebagai alat agama. Di dalam Islam juga terjadi hal yang sama. Di dunia ini sebenarnya tidak ada yang sakral. Di dalam konsep Islam benda-benda sakral sebenarnya tidak ada. Mengenai hubungan seorang muslim dengan Hajar Aswad, misalnya, Umar bin Khattab mengatakan: Kalau saya tidak melihat Nabi menciummu, saya tidak akan menciummu. Kamu hanya sebuah batu, sama dengan batu-batu yang lain. Maka nilai Hajar Aswad bagi seorang pengamat agama terletak dalam kepercayaan orang Islam mengenai nilai yang ada di dalamnya. Islam tentu mensakralkan wahyu Allah, tetapi ada perdebatan, apakah wahyu itu tulisan yang dibacakan ataukah isinya.
Karakteristik ajaran Islam dapat dilihat dari ajarannya di bidang sosial. Ajaran Islam di bidang sosial ini termasuk yang paling menonjol, karena seluruh bidang ajaran Islam pada akhirnya ditujukan untuk kesejahteraan manusia. Namun khusus dalam bidang sosial ini Islam menjunjung tinggi nilai tolong-menolong, nasehat menasihati tentang hak dan kesabaran, kesetiakawanan egaliter (kesamaan derajat) tenggang rasa dan kebersamaan. Ukuran ketinggian derajat manusia dalam pandangan Islam bukan ditentukan oleh nenek moyangnya, kebangsaannya, warna kulit, bahasa, jenis kelamin dan lain sebagainya yang berbau rasialis. Kualitas dan ketinggian derajat seseorang ditentukan oleh ketakwaan-nya yang ditunjukkan oleh potensi kerjanya yang bermanfaat bagi manusia. Atas dasar ukuran ini maka dalam Islam mempunyai kesempatan yang sama.. Mobilitas vertikal dalam arti yang sesungguhnya ada dalam Islam, sementara sistem kelas yang menghambat mobilitas sosial tersebut tidak diakui keberadaannya. Seseorang yang berprestasi sungguhpun dari kalangan bawah, tetap dihargai dan dapat meningkat kedudukannya serta mendapat hak-hak sesuai dengan prestasi yang dicapainya.
Menurut penelitihan yang dilakukan Jalaluddin Rahmat, Islam ternyata agama yang menekankan urusan muamalah lebih besar dari pada urusan ibadah. Islam ternyata banyak memperhatikan aspek kehidupan sosial dari pada aspek kehidupan ritual. Islam adalah agama yang menjadikan seluruh bumi Masjid tempat mengabdi kepada Allah. Muamalah jauh lebih luas dari pada ibadah (dalam arti khusus). Hal demikian dapat dilihat misalnya bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan sosial yang penting, maka boleh ibadah diperpendek atau ditangguhkan (diqosor atau dijamak dan bukan ditinggalkan). Bahkan Islam menilai bahwa ibadah yang dilakukan secara berjamaah atau bersama–sama dengan orang lain nilainya lebih tinggi dari pada shalat yang dilakukan secara perorangan, dengan perbandingan 27 derajat sebagaimana hadis Nabi Saw sebagai berikut.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم، قَالَ : صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً (رواه مسلم)

Diriwayatkan dari Ibn `Umar, Bahwa Rasulullah Saw bersabda: Shalat berjamaah lebih tinggi nilainya daripada shalat sendirian dengan selisih duapuluh tujuh derajat (HR. Muslim)

Dalam pada itu, Islam menilai bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifarat (tebusannya) adalah dengan melakukan sesuatu yang berhubungan dengan urusan sosial. Bila puasa tidak mampu dilakukan karena sakit yang menahun dan sulit diharapkan sembuhnya, maka boleh diganti dengan fidyah (tebusan) dalam bentuk memberi makanan bagi orang miskin. Sebaliknya, bila orang tidak baik dalam urusan muamalat, urusan ibadahnya tidak dapat menutupnya. Yang merampas hak orang lain tidak dapat menghapus dosanya dengan shalat tahajud. Orang yang berbuat dhalim atau aniaya terhadap sesamanya tidak akan hilang dosanya dengan tebusan membaca dzikir seribu kali dan seterusnya. Bahkan dari beberapa keterangan, kita mendapatkan kesan bahwa ibadah ritual tidak diterima oleh Allah, bila pelakunya melanggar norma-noma muamalah.

D.    Kesimpulan
Islam sebagai hasil hubungan sosial dan budaya bukan berarti menjauhkan manusia dari ajaran dasarnya. Realitas ini dalam tinjauan sosiologis, justru memberikan isyarat bahwa Islam telah menjadi milik manusia yang direfleksikan dalam kehidupan bermasayarakat, sehingga sangat wajar bila perilaku keagamaannya terjadi perbedaan bentuk dari setiap individu yang satu dengan lainnya, karena hal ini sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai subyektifitas dengan berbagai sudut pandang yang sangat kompleks dan beragam. Wujud keragaman dan keberagamaan mereka merupakan wujud kongkrit dari integrasi, interaksi dan internalisasi antara nilai-nilai normatif doktrinal dan historis metodologis. Kedua sisi tersebut saling memberikan inspirasi timbal balik, bahkan saling berpengaruh pada setiap insan dalam merealisasikan wujud kongkrit Islam yang diikutinya. Bangunan keutuhan dan kebersamaan dari berbagai keragaman dan perbedaan tersebut benar-benar sangat dibutuhkan dan dirindukan oleh masyarakat dalam sebuah kehidupan yang berimbang, universal dan konprehensip menuju sebab utama dan yang pertama. Dengan kata lain bahwa Islam bersumber dari Tuhan untuk manusia dan dari manusia dengan berbagai aktivitasnya akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Wallahu bima ta’maluna khabir.

E.     REFERENSI
1.      Atho’ Mudhor, Pendidikan Studi Islam, Jogjakarta, Pustaka pelajar (Anggota IKAPI), 1998

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More