ISLAM SEBAGAI OBJEK KAJIAN DAN PENELITIAN
Makalah
Disusun Guna memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Metodologi Studi Islam
Dosen pengampu : Drs. Ma’mun Mu’min M.Ag
Disusun oleh:
1.
Ika
Ayu Fatwarani : 1310120001
2.
Kholifatul
Khusnah :1310120002
3.
Abdulloh
Faqih :1310120003
4.
Arif
Syaifuddin Bakrie :1310120004
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH/PAI-ELK
2013
MEMAHAMI KARAKTERISTIK AGAMA ISLAM DALAM OBJEK PENELITIAN SOSIAL
DAN BUDAYA
A.
Pendahuluan
Kehadiran ajaran agama islam yang di bawa oleh Nabi Muhammad SAW diyakini
oleh umat islam dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera
lahir dan batin Didalam agama tersebut terdapat berbagai petunjuk bagi penganut
agama islam. Beberapa orang menganggap penelitian agama adalah tabu sebagian
dari mereka akan berkata: Mengapa agama yang sudah begitu mapan mau di teliti: Agama
adalah wahyu Allah yang sudah pasti kebenarannya.
Sikap serupa juga terjadi di Barat. Dalam pendahuluan buku Seven Theoritis
Of Religion dikatakan dulu orang Eropa menolak anggapan adanya kemungkinan
meneliti agama. Sebab antara ilmu dan nilai, antara ilmu dan agama
(kepercayaan), tidak bisa di sinkronkan.Mungkinkah kita meneliti agama, apalagi
agama islam, oleh orang-orang islam? Tentu saja agama termasuk Islam dapat dan
boleh diteliti. Pada tahun 1990-an, Prof Dr.Mukti Ali telah berkata begitu, dan
banyak orang yang tidak setuju.Tapi sampai saat ini dengan perkembangannya
pemahaman tentang islam, maka masyarakat luaspun mulai bisa menerima pemikiran
tersebut. Dalam perguruan tinggipun studi Islam terus berkembang terkait
materi-materi yang di pelajari oleh mahasiswa dalam melengkapi mata kuliahnya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Agama sebagai gejala budaya dan sosial?
2. Bagaimana agama dalam sosial dan budaya?
3. Bagaimana Islam dalam Aspek sosial?
C. Pembahasan
1. Agama sebagai Gejala Budaya dan Sosial
Pada awalnya ilmu hanya ada dua: ilmu kealaman dan ilmu budaya.
Ilmu kealaman seperti fisika, kimia, biologi dan lain-lain mempunyai tujuan
utama mencari hukum-hukum alam, mencari keteraturan yang terjadi pada alam.
Contoh, kalau sekarang air mengalir dari atas ke bawah besok kalau dites lagi
juga begitu. Sebaliknya ilmu budaya mempunyai sifat tidak berulang, tetapi
unik. Contoh, budaya kraton Yogya unik buat Yogya, batu nisan seorang tokoh
sejarah unik buat yang bersangkutan, dan sebagainya. Disini tidak ada
keterulangan.
Kemudian diantara penelitian kealaman dan budaya itu terdapat
penelitian ilmu-ilmu sosial. Penelitian ilmu sosial berada di antara ilmu
kealaman. Karena itu, penelitian ilmu sosial mengalami problem dari segi
objektivitasnya. Inti ilmu kealaman adalah positivisme. Sesuatu itu baru di
anggap sebagai ilmu kalau dapat diamati (observable), dapat diukur (measurable)
dan dapat dibuktikan (veriable). Sebaliknya ilmu budaya hanya dapat
diamati. Kadang-kadang tidak dapat diukur apalagi diverifikasi.
Timbul pertanyaan: bisakah agama didekati secara kualitatif atau
kuantitatif? Jawabannya, bisa. Agama bisa didekati secara kualitatif dan
kuantitatif sekaligus. Tergantung agama yang sedang diteliti itu dilihat
sebagai gejala apa.
Ada lima bentuk gejala agama yang perlu diperhatikan kalau kita
hendak mempelajari sauatu agama. Pertama, scripture atau naskah-naskah
sumber ajaran dan simbol-simbol agama. Kedua, para penganut atau pemimpin atau
pemuka agama, yakni sikap perilaku dan penghayatan para penganutnya. Ketiga,
ritus-ritus, lembaga-lembaga dan ibadat-ibadat, seperti shalat, haji dan waris.
Keempat organisasi-organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul,
seperti Nahdlatul Ulama dan Muhamadiyah. Penelitian keagamaan dapat mengambil
sasaran salah satu atau beberapa dari lima bentuk gejala ini. Orang boleh
mengambil tokohnya, seperti K.H.A. Dahlan, Muhammad Iqbal dan lain-lain.
Kalau orang hendak meneliti peralatan agama, maka tergantung alat
apa yang akan di teliti. Kalau yang ingin diteliti adalah ka’bah, alat ritus
dalam islam, misalnya, orang dapat meneliti sejarah ka’bah, kapan
didirikan,siapa yang membangun, bagaimana bentuknya. Namun perlu diperhatika
ada yang betul-betul alat agama, ada yang sebenarnya hanya dianggap sebagai
alat agama. Misalnya, peci, Di kampung, kalau orang pergi ke mesjid tidak
memakai peci dianggap kurang Islam. Tetapi ternyata peci juga digunakan untuk
upacara sumpah jabatan. Jadi konsep peci yang dikampung dianggap sebagai alat
agama ternyata berbenturan dengan konsep peci di tempat lain.
2. Islam dalam Aspek Sosial
Islam sebagai gejala sosial, pada
dasarnya bertumpu pada konsep sosiologi agama. Pada zaman dahulu sosiologi
agama mempelajari hubungan timbal balik antara agama dan masyarakat Masyarakat
mempengaruhi agama, dan agama mempengaruhi masyarakat. Belakangan sosiologi
agama mempelajari bukan soal hubungan timbal balik, melainkan lebih kepada pengaruh
agama terhadap tingkah laku masyarakat: bagaimana Agama sebagai sistem nilai
yang mempengaruhi tingkah laku masyarakat. Bagaimanapun juga, ada juga pengaruh
masyarakat terhadap pemikiran keagamaan. Orang tentu sepakat bahwa lahirnya
teologi Syiah, Khawarij, Ahli Sunnah wal Jamaah sebagai produk pertikaian
politik. Tauhidnya memang asli dan satu, tetapi anggapan bahwa Ali sebagai imam
dan semacamnya adalah produk perbedaan pandangan politik. Jadi pergeseran
masyarakat dapat mempengaruhi pemikiran teologi atau keagamaan.. Oleh karena itu dapat juga diteliti
bagaimana perkembangan masyarakat industri mempengaruhi pemikiran keagamaan.
Contoh, kita hidup di kampung dan di sebelah rumah kita ada Masjid. Kalau kita
tidak pernah kelihatan shalat jum’ah di situ, kita akan dianggap kurang saleh
dalam beragama. Tetapi kalau kita tinggal di kota, walau setahun kita tidak
pernah kelihatan shalat jum’ah di Masjid kota itu, kita tidak dianggap kurang
saleh dalam beragama. Mengapa? karena indikasi kesalehan telah bergeser dan
berbeda bagi orang Desa dan Kota. Kehidupan Kota telah menyebabkan pergeseran
itu; perkembangan masyarakat telah mempengaruhi cara perpikir orang mengenai
penilaian kesalehan.
Atho Mudzhar mencatat adanya lima
bentuk gejala agama yang perlu diperhatikan kalau seseorang hendak mempelajari
suatu agama. Pertama scripture atau naskah-naskah atau sumber ajaran
dan simbol-simbol agama. Kedua,
para penganut atau para pemimpin atau pemuka agama, yakni sikap, perilaku dan
penghayatan para penganutnya. Ketiga,
ritus-ritus, lembaga-lembaga dan ibadat-ibadat, seperti shalat, puasa, haji,
perkawinan dan waris. Keempat,
alat-alat, seperti masjid, gereja, lonceng, dan semacamnya. Kelima,
organisasi-organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan berperan,
seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Gereja Katholik, Gereja
Protestan dan lain-lain. Lebih
jauh ia menegaskan bahwa penelitian keagamaan dapat mengambil sasaran salah
satu atau beberapa dari lima bentuk gejala tersebut di atas. Orang boleh
mengambil tokohnya, boleh alatnya, terserah dari sudut mana kita menelitinya.
Alat-alat agama dapat menjadi sasaran penelitian, namun perlu diperhatikan
bahwa ada yang betul-betul alat agama, ada yang sebenarnya hanya dianggap
sebagai alat agama. Di dalam Islam juga terjadi hal yang sama. Di dunia ini
sebenarnya tidak ada yang sakral. Di dalam konsep Islam benda-benda sakral
sebenarnya tidak ada. Mengenai hubungan seorang muslim dengan Hajar Aswad,
misalnya, Umar bin Khattab mengatakan: Kalau saya tidak melihat Nabi menciummu,
saya tidak akan menciummu. Kamu hanya sebuah batu, sama dengan batu-batu yang
lain. Maka nilai Hajar Aswad bagi seorang pengamat agama terletak dalam
kepercayaan orang Islam mengenai nilai yang ada di dalamnya. Islam tentu
mensakralkan wahyu Allah, tetapi ada perdebatan, apakah wahyu itu tulisan yang
dibacakan ataukah isinya.
Karakteristik ajaran Islam dapat
dilihat dari ajarannya di bidang sosial. Ajaran Islam di bidang sosial ini
termasuk yang paling menonjol, karena seluruh bidang ajaran Islam pada akhirnya
ditujukan untuk kesejahteraan manusia. Namun khusus dalam bidang sosial ini
Islam menjunjung tinggi nilai tolong-menolong, nasehat menasihati tentang hak
dan kesabaran, kesetiakawanan egaliter (kesamaan derajat) tenggang rasa dan
kebersamaan. Ukuran ketinggian derajat manusia dalam pandangan Islam bukan
ditentukan oleh nenek moyangnya, kebangsaannya, warna kulit, bahasa, jenis
kelamin dan lain sebagainya yang berbau rasialis. Kualitas dan ketinggian
derajat seseorang ditentukan oleh ketakwaan-nya yang ditunjukkan oleh potensi
kerjanya yang bermanfaat bagi manusia. Atas dasar ukuran ini maka dalam Islam
mempunyai kesempatan yang sama.. Mobilitas vertikal dalam arti yang
sesungguhnya ada dalam Islam, sementara sistem kelas yang menghambat mobilitas
sosial tersebut tidak diakui keberadaannya. Seseorang yang berprestasi
sungguhpun dari kalangan bawah, tetap dihargai dan dapat meningkat kedudukannya
serta mendapat hak-hak sesuai dengan prestasi yang dicapainya.
Menurut penelitihan yang dilakukan
Jalaluddin Rahmat, Islam ternyata agama yang menekankan urusan muamalah lebih
besar dari pada urusan ibadah. Islam ternyata banyak memperhatikan aspek
kehidupan sosial dari pada aspek kehidupan ritual. Islam adalah agama yang
menjadikan seluruh bumi Masjid tempat mengabdi kepada Allah. Muamalah jauh
lebih luas dari pada ibadah (dalam arti khusus). Hal demikian dapat dilihat
misalnya bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan sosial yang
penting, maka boleh ibadah diperpendek atau ditangguhkan (diqosor atau dijamak
dan bukan ditinggalkan). Bahkan Islam menilai bahwa ibadah yang dilakukan
secara berjamaah atau bersama–sama dengan orang lain nilainya lebih tinggi dari
pada shalat yang dilakukan secara perorangan, dengan perbandingan 27 derajat
sebagaimana hadis Nabi Saw sebagai berikut.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم،
قَالَ : صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ
وَعِشْرِينَ دَرَجَةً (رواه مسلم)
Diriwayatkan dari Ibn `Umar, Bahwa Rasulullah Saw bersabda:
Shalat berjamaah lebih tinggi nilainya daripada shalat sendirian dengan selisih
duapuluh tujuh derajat (HR. Muslim)
Dalam pada itu, Islam menilai
bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar
pantangan tertentu, maka kifarat (tebusannya) adalah dengan melakukan sesuatu
yang berhubungan dengan urusan sosial. Bila puasa tidak mampu dilakukan karena
sakit yang menahun dan sulit diharapkan sembuhnya, maka boleh diganti dengan
fidyah (tebusan) dalam bentuk memberi makanan bagi orang miskin. Sebaliknya,
bila orang tidak baik dalam urusan muamalat, urusan ibadahnya tidak dapat
menutupnya. Yang merampas hak orang lain tidak dapat menghapus dosanya dengan
shalat tahajud. Orang yang berbuat dhalim atau aniaya terhadap sesamanya tidak
akan hilang dosanya dengan tebusan membaca dzikir seribu kali dan seterusnya.
Bahkan dari beberapa keterangan, kita mendapatkan kesan bahwa ibadah ritual
tidak diterima oleh Allah, bila pelakunya melanggar norma-noma muamalah.
D.
Kesimpulan
Islam sebagai hasil hubungan
sosial dan budaya bukan berarti menjauhkan manusia dari ajaran dasarnya.
Realitas ini dalam tinjauan sosiologis, justru memberikan isyarat bahwa Islam
telah menjadi milik manusia yang direfleksikan dalam kehidupan bermasayarakat,
sehingga sangat wajar bila perilaku keagamaannya terjadi perbedaan bentuk dari
setiap individu yang satu dengan lainnya, karena hal ini sangat dipengaruhi
oleh nilai-nilai subyektifitas dengan berbagai sudut pandang yang sangat
kompleks dan beragam. Wujud keragaman dan keberagamaan mereka merupakan wujud
kongkrit dari integrasi, interaksi dan internalisasi antara nilai-nilai
normatif doktrinal dan historis metodologis. Kedua sisi tersebut saling
memberikan inspirasi timbal balik, bahkan saling berpengaruh pada setiap insan
dalam merealisasikan wujud kongkrit Islam yang diikutinya. Bangunan keutuhan dan
kebersamaan dari berbagai keragaman dan perbedaan tersebut benar-benar sangat
dibutuhkan dan dirindukan oleh masyarakat dalam sebuah kehidupan yang
berimbang, universal dan konprehensip menuju sebab utama dan yang pertama.
Dengan kata lain bahwa Islam bersumber dari Tuhan untuk manusia dan dari
manusia dengan berbagai aktivitasnya akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa. Wallahu bima
ta’maluna khabir.
E.
REFERENSI
1.
Atho’
Mudhor, Pendidikan Studi Islam, Jogjakarta, Pustaka pelajar (Anggota
IKAPI), 1998
2 komentar:
Iron Heart Gold Metal T-Shirt - Titanium Arts
Iron Heart 2018 ford fusion energi titanium Gold Metal T-Shirt - titanium automatic watch Iron Heart Gold titanium nose stud Metal T-Shirt - Titanium titanium piercing jewelry Arts, a website devoted to creating premium-quality high quality, high- $23.96 · babyliss pro titanium In stock
n594m5ixcvi194 vibrating dildos,horse dildo,masturbators,g-spot dildos,realistic dildos,vibrators,fantasy toys,dildos,dog dildo y360w8ytdgl365
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar, kritik, masukan-masukan yang positif, maupun yang lainnya. Silahkan ambil segala sesuatu yang bermanfaat yang ada di dalam blog ini.Hindari dari hal-hal yang bernuansa sara, pornografi, penghinanaan dan sebagainya.
Terima kasih.